Dampak Desentralisasi
Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi
• Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem
desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber
daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang
dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan
masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari
2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas
Lokal”.
Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang
sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan
praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004
(www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi
tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur
Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran
dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera
Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus
korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di
berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.
• Segi Sosial Budaya
Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial
budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini
pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan
dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu
potensi daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial
budaya adalah masing- masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan
kebudayaannya masing-masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan
kesatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri.
• Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk
mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya
kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri
dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja
yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut
konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report 18 juli 2003
”Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan”
”……………..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke
kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah
provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan
yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan
cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang eksis.
Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak
bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan
beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.
Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan
meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi
konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi
lokal yang memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu,
proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen
konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih
dipercaya……..”
Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui
desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di
daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan
di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah
euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan
pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat.
b) Desentralisasi di Negara Indonesia
Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang
naik dan surut (pola zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi)
seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada
perjalanan kehidupan bangsa. Bird dan Vaillancourt (2000: 160) mengatakan,
secara konstitusi Indonesia adalah Negara kesatuan yang desentralistis, namun
dalam prakteknya menunjukkan sistem pemerintahan yang sangat sentralistis. Pada
tahun 1998, secara internal bangsa Indonesia tengah dilanda multikrisis, yang
diawali dengan krisis ekonomi maupun krisis kepercayaan, yang diikuti oleh
ancaman disintegrasi bangsa.
Agar bangsa Indonesia secepatnya keluar dari belenggu krisis
multidimensional, maka pemerintah melakukan reformasi total dan mengambil
langkah kebijakan strategis dengan pemberian status otonomi seluas-luasnya
kepada kabupaten/kota dengan azas desentralisasi, dan pemerintahan provinsi berfungsi
sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dengan azas
dekonsentrasi. Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen dan ditambahkan menjadi
pasal 18, 18A, dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan
daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah.
Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki 7 (tujuh)
undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah, yaitu:
a. UU 1/1948;
b. UU 22/1948;
c. UU 1/1957;
d. UU 18/1965;
e. UU 15/1974;
f. UU 22/1999;
g. UU 32/2004.
Dengan pemberian otonomi seluas-luasnya, daerah diberikan
kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, yang tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memonitor dan
mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antardaerah dan
mendorong timbulnya inovasi.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen penting
yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Keempat elemen
tersebut menurut Rondinelli (dalam Litvack dan Seddon, 1999: 2), adalah
desentralisasi politik (Political Decentralization), desentralisasi
administrasi (Administrative Decentralization), desentralisasi fiskal (Fiscal
Decentralization), dan desentralisasi ekonomi (Economic or Market
Decentralization.
c) Otonomi khusus di Papua/Papuan Special Autonomy
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara
Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara
Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah
dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU
21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi
Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di
dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini,
Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang
berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
1. Pengertian Otonomi Khusus (Otsus) Papua
Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat
Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti
kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
Papua untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan
tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat
dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak
kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial,
budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan
sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini
penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya
yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya – termasuk dengan
dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah
“khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada
Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal
seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik.
Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada
hal-hal berdasar yang hanya berlaku di
Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan
ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.
2. Nilai-nilai Dasar Otsus Papua
Terdapat 7 butir nilai dasar otsus Papua :
a. Perlindungan hak-hak dasar penduduk asli papua
b. Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi
c. Penghargaan terhadap etika dan moral
d. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
e. Supremasi hukum
f. Penghargaan terhadap plurarisme
g. Persamaan kedudukan, dan kewajiban sebagai warga Negara
3. Garis-garis besar pokok pikiran Otsus papua
Garis-garis Besar Pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek
berikut ini :
a. Pembagian kewenangan antara pemerintah antara pusat dan
provinsi papua
b. Pembagian Daerah Provinsi Papua
c. Pembagian Kewenangan Dalam Provinsi Papua
d. Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli
e. Bendera, Lambang dan Lagu
Terdapat perbedaan antara Otonomi Khusus di Papua dengan otonomi
biasa di
daerah-daerah, yaitu dalam badan legislative dan yudikatif.
Badan legislatif Papua terdiri dari DPRD dan MRP ( Majelis Rakyat Papua ),
dalam badan yudikatif Papua memiliki peradilan adat dan peradilan biasa.
2. Kekuasaan absolut/muthlaqah dan Otoriter/istibdadiyah
Absolut, bisa diartikan menjadi mutlak, berasal dari bahasa
Inggris, absolute. Dalam pemerintahan, istilah ini adalah satu ciri pemerintahan
diktator, dimana pemimpinnya mempunyai kekuasaan mutlak, yang mana kekuasaan
tersebut diterapkan tanpa aturan yang membatasi dan mengawasinya. Adpun
otoriter, biasa disebut juga sebagai paham politik otoritarianisme (Inggris:
'authoritarianisme) adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan
kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu.
Sistem politik ini biasanya menentang demokrasi dan kuasaan pemerintahan pada
umumnya diperoleh tanpa melalui sistim demokrasi pemilihan umum, dan kalaupun
melewati pemilu tapi terdapat kecurangan dan pemaksaan di dalamnya.
4) Praktik Penerapan Pembagian atau Pemisahan
Kekuasaan/At-tathbiqaat al-'amaliyah li mabda' al-fashl baina sulthaat
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari
sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Adanya sistem pemerintahan
lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan ini.
Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan
parlemen. Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk
parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan
sistem pemerintahan presidensial.
1. Sistem Perlementer/an-nizhaam al-barlamani atau an-niyabi
System parlementer adalah sebuah system pemerintahan dimana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat dan menjatuhkan perdana menteri maupun
pemerintahan. Dalam system parlememter Presiden hanya menjadi symbol kepala
Negara. Sistem ini di kembangkan di berbagai Negara, antara lain: Perancis,
Kerajaan Inggris, dan Negara-negara Commonwealth seperti Kanada, Australia,
India dan lainnya.
Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Parlementer :
- Raja/ratu atau presiden adalah sebagai kepala Negara. Kepala
Negara ini tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh
cabinet.
- Kepala Negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Kepala Negara tak memiliki
kekuasaan pemerintahan. Ia hanya sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan Negara.
- Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang
anggotanya dipilih lansung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen
memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
- Eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang
disebut sebagai eksekutif di sini adalah kabinet. Kabinet harus meletakkan atau
mengembalikan mandatnya kepada kepala negara, manakala parlemen mengeluarkan
mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri.
- Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk
kabinet dan sekaligus sebagai perdana menteri adalah ketua partai politik yang
memenangkan pemilu. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai
pihak oposisi.
- Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk
kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari
parlemen.
- Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen dan
kepala negara beranggapan kabinet berada dalam pihak yang benar, maka kepala
negara akan membubarkan parlemen. Dan menjadi tanggung jawab kabinet untuk
melaksanakan pemilu dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai
akibatnya, apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam pemilu
tersebut, maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya, apabila partai
oposisi yang memenangkan pemilu, maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan
mandatnya dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru.
Kelebihan dan kekurangan Sistem Parlementer:
• Kelebihan
- Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah
terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena
kekuasaan legislatif dan eksekutif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
publik jelas
- Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet
sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
• Kekurangan
- Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada
mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan
oleh parlementer
- Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tak bisa
ditentikan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet
dapat bubar
- Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal ini terjadi bila
para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas.
Karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, anggota kabinet pun
dapat menguasai parlemen
- Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan
eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi
bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
2. Sistem Pemerintahan Presidensial/an-nizhaam ar-riaasy
Sistem ini atau disebut juga dengan sistem kongresional,
merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif
dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Dalam sistem
ini, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan
karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada
mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, ,
posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena
pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan
menggantikan posisinya.
Dalam ini, kedudukan eksekutif tak tergantung pada badan
perwakilan rakyat. Dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada
pemilihan rakyat. Para menteri bertanggung jawab pada presiden dan tidak
bertanggung jawab kepada parlemen, serta tidak dapat diberhentikan oleh
parlemen.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi tanggung jawab Supreme
Court (Mahkamah Agung), dan kekuasaan legislatif berada di tangan DPR atau
Kongres (Senat dan Parlemen di Amerika). Dalam Praktiknya, sistem presidensial
menerapkan teori Trias Politika Montesquieu secara murni melalui pemisahan
kekuasaan (Separation of Power). Contohnya adalah Amerika dengan Check and
Balance. Sedangkan yang diterapkan di Indonesia adalah pembagian kekuasaan
(Distribution of Power).
Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial:
- Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden
adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tak dipilih
oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan/majelis.
- Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet
bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada
parlemen/legislatif.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena ia
tidak dipilih oleh parlemen.
- Presiden tak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem
parlementer.
- Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan menjabat sebagai
lembaga perwakilan. Anggotanya pun dipilih oleh rakyat.
- Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.
- Presiden yang dipilih rakyat, menjalankan pemerintahan dan
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
- Masa jabatan yang tetap bagi presiden dan dewan perwakilan,
keduanya tidak bisa saling menjatuhkan (menggunakan kekuasaan secara
sewenang-wenang).
- Tidak ada keanggotaan yang tumpang tindih antara eksekutif dan
legislatif.
Kelebihan dan kekurangan Sistem Presidensial:
• Kelebihan
- Badan eksekutif lebih stabil kedudu-kannya karena tidak
tergantung pada parlemen.
- Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu
tertentu. Misalnya, masa jabatan presiden Amerika Serikat adalah 4 tahun dan
presiden Indonesia selama 5 tahun.
- Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan
jangka waktu masa jabatannya.
- Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan
eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
• Kekurangan
- Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif
sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak
- Sistem pertanggung jawabannya kurang jelas
- Pembuatan keputusan/kebijakan publik umumnya hasil
tawar-menawar antara eksekutif dengan legislatif sehingga dapat terjadi
keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
Sistem Pemerintahan Amerika Serikat
a. Amerika Serikat adalah negara republik dengan bentuk federasi
(federal) yang terdiri atas 50 negara bagian. Pusat pemerintahan (federal)
berada di Washington dan pemerintah negara bagian (state). Adanya pembagian
kekuasaan untuk pemerintah federal yang memiliki kekuasaan yang didelegasikan
konstitusi. Pemerintah negara bagian memiliki semua kekuasaan yang tidak
didelegasikan kepada pemerintah federal.
b. Adanya pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Antara ketiga badan tersebut terjadi cheks and
balances sehingga tak ada yang terlalu menonjol dan diusahakan seimbang.
c. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden. Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan
wakil presiden dipilih dalam satu paket (ticket) oleh rakyat secara langsung.
Dengan demikian, presiden tak bertanggung jawab kepada kongres (parlemennya
Amerika Serikat) tetapi pada rakyat. Presiden membentuk kabinet dan mengepalai
badan eksekutif yang mencakup departemen ataupun lembaga non departemen.
d. Kekuasaan legislatif berada pada parlemen yang disebut
kongres. Kongres terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Senat dan Badan
Perwakilan (The House of Representative). Anggota Senat adalah perwakilan dari
tiap negara bagian yang dipilih melalui pemilu oleh rakyat di negara bagian
yang bersangkutan. Tiap negara bagian punya 2 orang wakil. Jadi terdapat 100
senator yang terhimpun dalam The Senate of United State. Masa jabatan Senat
adalah enam tahun. Akan tetapi dua pertiga anggotanya diperbaharui tiap 2
tahun. Badan perwakilan merupakan perwakilan dari rakyat Amerika Serikat yang
dipih langsung untuk masa jabatan 2 tahun.
e. Kekuasaan yudikatif berada pada Mahkamah Agung (Supreme
Court) yang bebas dari pengaruh dua badan lainnya. Mahkamah Agung menjamin
tegaknya kebebasan dan kemerdekaan individu, serta tegaknya hukum.
f. Sistem kepartaian menganut sistem dwipartai (bipartai). Ada
dua partai yang menentukan sistem politik dan pemerintahan Amerika Serikat,
yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Dalam setiap pemilu, kedua partai
ini saling memperebutkan jabatan-jabatan politik.
g. Sistem pemilu menganut sistem distrik. Pemilu sering
dilakukan di Amerika Serikat. Pemilu di tingkat federal, misalnya pemilu untuk
memilih presiden dan wakil presiden, pemilu untuk pemilihan anggota senat,
pemilu untuk pemilihan anggota badan perwakilan. Di tingkat negara bagian
terdapat pemilu untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta pemilu untuk
anggota senat dan badan perwakilan negara bagian. Di samping itu, terdapat
pemilu untuk memilih walikota/dewan kota, serta jabatan publik lainnya.
h. Sistem pemerintahan negara bagian menganut prinsip yang sama
dengan pemerintahan federal. Tiap negara bagian dipimpin oleh gunernur dan
wakil gubernur sebagai eksekutif. Ada parlemen yang terdiri atas 2 badan, yaitu
Senat mewakili daerah yang lebih rendah setingkat kabupaten dan badan
perwakilan sebagai perwakilan rakyat negara bagian.
3. System Pemerintahan Majelis/an-nizhaam al-majlisi atau
nizhaam hukumah al-jam'iyah
Sistem pemerintahan majelis bersandar dari penggabungan 2 (dua)
kekuasaan yaitu eksekutif dan legislatif dalam lembaga perwakilan atau
parlemen, yang menguasai dan mengontrol seluruh kekuasaan serta menjalankan
tugas eksekutif dan legislatif secara bersamaan. Persamaan dan keseimbangan
antara kekuasaan tidak terwujud dalam system ini sebagaimana yang ada dalam
prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan. Hal ini karena majlis/dewan
parlemen mengambil alih posisi pusat badan legislatif. Majelis/dewan
perwakilan/parlemen ini juga berkuasa penuh dalam pelaksanaan undang-undang.
Itu kembali pada dewan parlemen yang merupakan representasi dari
rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang tidak menerima pembagian. Yang mana
rakyat tidak mampu menjalankan kedaulatan dan seluruh unsurnya kecuali dengan
dewan parlemen terpilih/al-jam'iyah al-muntakhobah. Yang wajib bagi seluruh
kekuasaan berada dibawahnya.
Dikarenakan sistem ini tidak mengakui pemisahan kekuasaan,
seorang ilmuwan perancis mooris defregger menganggap bahwa pemerintahan majelis
merupakan sistem yang berdiri atas dasar penggabungan antara berbagai
kekuasaan/sulthaah.
Ciri-ciri pokok sistem pemerintahan majelis:
1. Badan legislatif mengikut atau subordinasi pada badan
eksekutif, karena badan eksekutif merupakan tempat rakyat menyuarakan pendapat
dalam setiap masalah.
2. Badan legislatif tidak memiliki hak memberikan pendapat atau
solusi pada badan eksekutif walaupun masuk bagian tanggung jawabnya.
Praktik penerapan sistem majelis di Swiss
Swiss merupakan Negara yang menggunakan sistem pemerintahan majelis.
Sistem ini bersandar pada 3 (tiga) jenis sistem konstitusi:
1) Memakai sistem federal dalam zona dan daerah yang terbatas.
2) Proses demokrasi ghair mubasyir/tidak langsung.
3) Kekuasaan legislatif
Bentuk konstitusi pemerintahan majelis Swiss didasarkan pada
2(dua) lembaga atau badan diatas kesatuan, yaitu: 1. Majelis
federal/al-jam'iyah al-fidroliyah. Yaitu parlemen yang memiliki dua dewan. 2.
Dewan federal/al-majlis al-ittihaady, yaitu kekuasaan legislatif.
1. Majelis Federal/dewan parlemen
Majelis federal terdiri dari 2 macam:
a) Dewan nasional/al-majlis al-wathany/the national council yang
berlaku sebagai rakyat kesatuan swiss. Serta memiliki 1 wakil untuk setiap
25.000 penduduk. Dengan kursi 200 anggota yang di pilih untuk masa 4 tahun.
b) Dewan Negara/al-majlis al-wilayaat/the council of state yang
berlaku sebagai daerah atau provinsi disebabkan ia masuk dalam sistem federal.
Yang terdiri dari 2 wakil untuk setiap daerah atau provinsi. Dan wakil dari
sebagian provinsi meelalui proses pemilihan sesuai hukum di daerahnya
masing-masing, yang kadang kala terdapat sistem pemilihan dengan pemungutan
suara secara langsung. Dan ada juga yang melalui parlemen. Adpun jumlah anggota
dewannya adalah 44/46 kursi.
2. Dewan serikat federal/kekuasaan legistalif
Kekuasaan legislatif dimainkan oleh serikat federal yang terdiri
dari 7 anggota menteri dan menjabat selama 4 tahun. Adapun kepala negaranya di
tunjuk atau di pilih salah satu dari 7 anggota yang berstatus menteri tersebut
untuk menjabat selama satu tahun. Jadi, ketua dewan federal bertindak sebagai
kepala Negara atau presiden.
5) Pinsip pembagian kekuasaan dalam islam
Sebenarnya prinsip pembagian kekuasaan dalam islam lebih tepat
di diskusikan secara terpisah dalam kerangka konsep Negara Islam. Karena pembahasanya
lebih erat dengan Sistem pemerintahan Negara Islam. Dan itu membutuhkan sejarah
dan penelitian yang cukup panjang mengenai bentuk Negara Islam. Akan tetapi di
sini akan di singgung sedikit pembagian kekuasaan dalam Islam sebagai
pengetahuan apakah ada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam islam? Apakah
sama atau sejalan dengan pembagian kekuasaan modern milik Montesquieu dan yang
di pakai oleh Negara zaman sekarang?
Di dalam sistem kekuasaan Islam juga terdapat pembagian
kekuasaan seperti teori Trias Politica menurut fungsinya karena berdasarkan
konstitusi negara Islam dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 58-59 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya)…”.
Ada banyak penafsiran dari beberapa tokoh Muslim tentang
substansi dari ayat tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha ayat tersebut
menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah pemerintahan Islam. Sementara itu,
menurut Sayyid Qutbh ayat ini menjelaskan kaidah-kaidah asasi tentang
organisasi umat Islam (negara), kaidah-kaidah hukum dan dasar-dasar mengenai
kekuasaan negara . Sedangkan Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa ayat ini
menggariskan tiga aturan penting tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kesejahtraan umat Islam, terutama yang bertalian dengan pemerintahan. Dari
ketiga penafsiran tokoh tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang
dasar-dasar kaidah kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam yang berlandaskan
Al-Qur’an dengan dijalankan lewat ulil amri.
Di dalam ayat tersebut terdapat kata ulil amri, yang memiliki
banyak arti, diantaranya adalah ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam
mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan
umum). Ulil amri juga dapat berarti pemerintahan dengan raja/khalifah/imam/amir
sebagai kepala pemerintahan. Namun, ulil amri juga dapat berarti sekelompok
orang yang bertugas menjalankan dan menjatuhkan hukum. Kita dapat menyimpulkan
dari arti ulil amri menjadi sekelompok orang yang menjalankan pemerintahan dari
segi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif termuat di dalam
pengertian ulil amri sebagai raja/khalifah/imam/amir yang memimpin
pemerintahan. Kekuasaan legislatif termuat di dalam pengertian ulil amri
sebagai ahlul halli wal aqdi suatu kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan
dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum. Sedangkan, untuk
kekuasaan yudikatif termuat dalam pengertian ulil amri sebagai sekelompok orang
yang bertugas dan menjalankan hukum.
Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa
khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang
khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan kekuasaan
yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin,
khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan
Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin.
Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan
antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada
masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan
antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh
eksekutif. Dengan demikian, sebenarnya, antara sistem pembagian kekuasaan Islam
dengan sistem pembagian kekuasaan barat modern tidak ada perbedaan fundamental,
hanya istilah penyebutannya dan cara kerjanyanya saja yang berbeda. Seperti
yang telah disinggung diawal makalah ini tentang sistem berpikir politik barat
yang antroposentrik dan Islam yang Teosentrik Pun begitu dengan sistem
pembagian kekuasaan di Indonesia, tidak ada perbedaan yang fundamental dengan
sistem pembagian kekuasaan Islam yang menempatkan presiden (khalifah) sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, DPR (Majelis Syuro) sebagai pemegang kekuasaan
legislatif, dan MA (Qadhi) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Jadi, sebelum
konsep trias politica lahir, Islam telah mengenal konsep tentang pembagian
kekuasaan beratus-ratus tahun sebelumnya.
Setelah konsep pembagian kekuasaan tersebut masalah pokok
berikutnya adalah tentang pembatasan dan pertanggungjawaban kekuasaan serta
pergiliran kekuasaan menurut konsep Islam. Islam melalui Al-Qur’an sebagai
sumber hukum utamanya telah menjelaskan tentang kewajiban bagi penguasa untuk
tidak bertindak melebihi batas dan sewenang-wenang. Maka barangsiapa yang
bertindak demikian, penguasa tersebut merupakan penguasa yang zhalim dan hanya
akan menyengsarakan rakyatnya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi kekuasaan
para penguasa sehingga baik para penguasa maupun rakyat yang dipimpinnya
nantinya dapat selamat dunia dan akhirat. Sebab, dalam Islam pertanggungjawaban
kekuasaan bukan hanya kepada manusia atau rakyat yang dipimpinnya, melainkan
juga tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan konsep kedaulatan Tuhan.
Sedangkan, bagi rakyat yang dipimpinnya mendapat penguasa yang bijaksana dan
adil merupakan suatu berkah dari Tuhan yang apabila disyukuri akan menambah
keridhaan Tuhan pada rakyat suatu negeri. Penguasa yang adil menurut Islam
adalah penguasa yang senantiasa mengikuti petunjuk dan hukum dari Tuhan melalui
Al-Qur’an. Selain itu penguasa yang adil juga merupakan penguasa yang
memberikan hak-hak rakyatnya termasuk golongan minoritas (non-muslim), secara
penuh tanpa dikurangi sedikitpun menurut Al-Qur’an dan kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat kepadanya, tidak dijadikan alat untuk membatasi atau mengurangi
sedikitpun hak-hak dari rakyat yang dipimpinnya. Sehingga baik golongan
mayoritas maupun golongan minoritas dapat menerima hak-haknya berdasarkan
ketentuan yang diberikan Al-Qur’an. Hanya ada beberapa hak yang tidak bisa
diterima oleh golongan minoritas, hak-hak itu antara lain berupa hak untuk
menduduki posisi puncak dari kekuasaan eksekutif (Khalifah), legislatif
(Majelis Syuro), dan yudikatif (Qadhi) karena posisi-posisi puncak tersebut,
berdasarkan Al-Qur’an harus diisi oleh pemeluk Islam. Selain dari posisi-posisi
tersebut, golongan minoritas diperkenankan untuk memegang jabatan penting
lainnya dalam sebuah negara Islam. Sehingga dengan demikian, Islam juga menaruh
perhatian terhadap kekuasaan bagi golongan minoritas.
Negara yang baik adalah negara yang mempergilirkan pucuk
kekuasaan secara teratur (suksesi) baik itu lewat pemilu, pewarisan tahta, dan
sebagainya. Sebab, apabila tidak ada suksesi maka lama-kelamaan kecenderungan
para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat besar dan akan timbul
kesombongan, lupa diri, dan simbolisasi pada diri para penguasa sehingga hal
tersebut sangat bertentangan dengan konsep kekuasaan menurut Islam karena dapat
membawa para penguasa menjadi penguasa zhalim dan tiran. Namun, dalam Islam
tidak ada konsep pergiliran kekuasaan secara jelas, bahkan konsep pembatasan
masa jabatan dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada
masa Khulafaur Rasyidin belum ada tetapi, karena hal ini merupakan bentuk
kemaslahatan untuk negara dan tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist
maka pembatasan dan pergiliran kekuasaan dalam Islam hukumnya adalah boleh. Sehingga
masalah pergiliran kekuasaan dan pembatasan masa jabatan pemimpin adalah
masalah baru dalam konsep kekuasaan Islam. Oleh karena itu, masalah ini
merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui itjihad ulama—sebagai sumber
hukum negara Islam yang ketiga.
Menurut beberapa itjihad yang dilakukan ulama tentang pembatasan
dan pergiliran kekuasaan, apabila eksekutif (khalifah) melakukan penyelewengan
dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada tirani dan absolutisme maka
dalam hal ini, Majelis Syurolah yang memberhentikannya sebelum masa jabatannya
berakhir. Sebab dalam hal ini memiliki beberapa hak yang hampir sama dengan
sistem politik negara barat. Hak-hak tersebut antara lain, hak untuk mengangkat
dan memilih khalifah (pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin
menggunakan sistem musyawarah sehingga beberapa ahli politik menyimpulkan bahwa
sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan perwakilan), hak
untuk memecat dan memberhentikan khalifah, hak untuk membuat undang-undang dan
kebijaksaan, dan hak untuk melakukan control terhadap khalifah. Sehingga,
jelaslah bahwa konsep pembatasan dan pergiliran kekuasaan Islam sebenarnya
nyaris sama dengan konsep kekuasaan barat.
No comments:
Post a Comment