Sebelum Menghubungkan Migrasi dengan Kejahatan ada baiknya dulu kita mengetahui arti dari Migrasi
Migrasi Penduduk / migrasi manusia adalah perpindahan penduduk dari
suatu daerah ke daerah lain, berjarak jauh dan terbentuk dalam kelompok
yang besar yang tujuannya adalah menetap di suatu daerah. Migrasi
melintasi perbatasan wilayah, provinsi, negara, atau internasional.
Secara historis gerakan ini nomaden, sering menyebabkan konflik yang
signifikan dengan penduduk pribumi dan perpindahan mereka atau asimilasi
budaya. Hanya beberapa orang nomaden telah mempertahankan bentuk gaya
hidup di zaman modern. Migrasi terus dalam bentuk kedua migrasi sukarela
dalam satu kawasan, negara, atau di luar dan migrasi spontan (yang
meliputi perdagangan budak, perdagangan manusia dan pembersihan etnis).
Orang-orang yang bermigrasi ke wilayah yang disebut imigran, sementara
pada titik keberangkatan mereka disebut emigran. Populasi kecil
bermigrasi untuk mengembangkan suatu wilayah dianggap batal penyelesaian
tergantung pada latar belakang sejarah, kondisi dan perspektif disebut
sebagai pemukim atau koloni, sementara populasi pengungsi oleh imigrasi
dan kolonisasi disebut pengungsi.
Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama
yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas
penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara misalnya
turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas penduduk
yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas penduduk
permanen disebut migrasi.
Di Indonesia terjadi migrasi antara dari desa ke kota dengan
pengharapan penduduk yang berada di desa migrasi ke kota agar
mendapatkan kehidupan yang layak dengan bekerja di kota.
Seperti yang diketahui Perdagangan manusia (trafficking) melalui
jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional
yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban
trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan
perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya.
Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun
2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000
manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks
dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas,
nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB
memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7
milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga
terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan
penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga
kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun
perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global
menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan
merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret
kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari
perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun
perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban
trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization)
perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun
perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam
fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak
daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap
korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan
dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan
trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu
perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan
dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker,
keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking.
Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking
berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari
berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking
mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang
dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya
mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga
terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan
aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi
untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal
karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan
hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan
calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang
terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan.
Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat
secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan
diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih
tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal
penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai
bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya
migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons
persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya
dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan
perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor.
Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di
masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan
mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan
pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai
negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan
ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan
sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi
mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak
berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban
trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di
daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat
dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan
sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era
class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan
kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi
komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak.
Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan
maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan
komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan
sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran.
Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan
meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring
dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh
globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi,
konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut
menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan
dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan
tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup
keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia,
Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti
IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang
menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut
menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi
strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai
konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi
internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang
terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang
rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi
sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi
perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak
berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan
transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri
telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi),
akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi
yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan.
Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan
perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia.
Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari
penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya
kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas
menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan
bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang
mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi
perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan
maskulin.
No comments:
Post a Comment